PERKAMPUNGAN MUSLIM DI SINGAPURA
negara muslim 19.21
Kami keluar dari Bandara Changi Singapura dalam transit beberapa jam, selain bertemu dengan Yayan Mulyana, sahabat lama dulu di New York, ialah berziarah ke perkampungan Melayu dan Muslim yang kini dipelihara sebagai wilayah wisata. Di antara berbagai kawasan modern nan asri dan hijau atau pusat-pusat perbelanjaan di Singapura, bagi kami Kampong Glam [sering dibaca: Gelam] teramat istimewa.
Disebut Kampong Glam, karena di kawasan ini –sebelum reklamasi besar-besaran– merupakan kawasan pantai laut yang banyak tumbuh pohon kayu putih. Orang Melayu menyebut pohon yang menghasilkan minyak berkhasiat nan harum itu pohon gelam. Kawasan ini dulu berada di pinggir pantai. Strategis bagi para pedagang di Asia Tenggara, termasuk bagi para pelaut Bugis.
Karena rajin berdagang dengan orang-orang Arab dan Gujarat, maka di Kampong Glam berdiri pemukiman dan transit bagi bangsa-bangsa yang membawa Islam ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Mereka bangsa pedagang, maka di tempat itu mulai subur menjadi pusat perdagangan. Dan, nama-nama jalan pun turut menyesuaikan: Arab Street, Busorrah Street, Baghdad Street, Muscat Street. Di negara kota ini sampai sekarang tetap terpelihara Kampung Jawa, Kampung Bugis dsb.
Berdasarkan sejarah, pada tahun 1822 Raffles membuat rencana kota Singapura yang dibagi berdasarkan etnis: Eropa, dan China di kawasan tersendiri. Sedangkan orang Melayu (dari Semenanjung, Sumatera dan Riau), Bugis dan Arab ditempatkan di Kampong Glam. Belakangan orang China maupun India, karena berdagang, tertarik tinggal di sana.
Gubernur Jenderal Stamford Raffles membangun kawasan ini untuk menjadi pusat perdagangan bagi kepentingan the British East India Company, dan sebagai hasil perjanjian dengan Sultan Hussein maka didirikanlah Kampong Glam sebagai pemukiman kaum Muslim Melayu. Sultan Hussein sendiri mendirikan istananya di sana pada tahun 1819, yang kini disebut Istana Kampong Glam. Istana ini, setelah dipugar berkali-kali, sekarang menjadi Pusat Warisan Budaya Melayu, atau Malay Heritage Centre.
Kami sempat berkunjung ke kompleks yang terpelihara sebagaimana aslinya. Namun sayang, hari sudah petang Museum sudah tutup.
The Sultan Mosque
Kami menyempatkan shalat zuhur dan Asyar di Mesjid dengan arsitektur unik di Kampong Glam ini. Bagaimana sejarah berdirinya mesjid tua itu?
Alkisah, Sultan Hussein berhasil membujuk Raffles dan penguasa Inggeris ini rela membuka kocek $3000 Spanish dollar untuk membangun sejak awal mesjid ini. Karena idenya dari Sultan, maka orang Singapura menyebutnya mesjid tua itu Sultan Mosque. Maka, Denis Santry dan perusahaan Swan & MacLaren dari Inggeris ditugasi membuat rencana bangunan.
Pada saat dibangun mesjid itu cuma satu lantai. Pada tahun 1920an, masyarakat Muslim Singapura, seperti orang Jawa, Melayu, Bugis dan Arab, mengumpulkan dana untuk menjadikannya mesjid terbesar, sehingga kini mampu menampung jamaah sebanyak 5000 orang. Pembangunan mesjid itu berlangsung sampai tahun 1928.
Mesjid dan berbagai kelengkapan bangunannya bukan bergaya Melayu, karena didasarkan pada tradisi arsitektur India dan Timur Tengah.
Setiap liburan sekolah maupun akhir-pekan selalu ada kegiatan umat di sana. Apalagi pada bulan Ramadhan. Jika Anda berada di sana, akan terasa suasana keramahtamahan Melayu dan persaudaraan Muslim. Kami merasa nyaman di sini. Seakan-akan kita bukan di Singapura.
Bussorah Street adalah jalan utama menuju Mesjid. Di sekitarnya Anda akan mendengar orang-orang Singapura berbahasa Melayu. Banyak juga menjual souvenir, dan bahkan restoran Padang juga ada di sana.
Demi citra dan pariwisata, maka sejak tahun 1980 an kawasan Kampong Glam itu diproklamirkan sebagai National Heritage dan dilindungi, termasuk the Sultan Mosque, dan Istana Kampong Glam.
sumber :klik
Posted by Unknown
on 19.21.
Filed under
negara muslim
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0