Promo Lesbi, Hina Nabi, Lecehkan Al-Qur’an
tafsir 16.34
Sebagian pegiat legalisasi homoseksual dan lesbianisme, tampaknya menjadikan Nabi Luth a.s. sebagai sasaran kebencian dan umpatan mereka. Al-Quran memang menggambarkan perjuangan Nabi Luth a.s. yang begitu berat dalam menghadapi kemunkaran yang dikerjakan kaumnya, sehingga Nabi Luth diusir dari kampungnya.
Al-Quran menggambarkan perjuangan Nabi Luth sebagai berikut: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya:
“Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
Di dalam Surat Hud ayat 82 dikisahkan: “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”
Kerusakan perilaku seksual kaum Luth ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw:
“Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).
Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit ’kaum Luth’, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Hamka sampai menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang.
Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutip sebuah hadits Rasulullah saw.: “… dan apabila telah banyak kejadian laki-laki ’mendatangi’ laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, dan at-Tabhrani).
Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang ’mendatangi’ dan ’didatangi’ itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan kedua orang itu wajib dijatuhi hukuman mati.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’ 8).
Bisa digambarkan, betapa gundah dan marahnya kaum homo dan lesbi beserta para pendukungnya, terhadap sosok Nabi Luth yang mencoba menghentikan budaya syahwat merdeka pada kaum liberal di masa itu. Sebuah situs http://www.savethe males.ca, pada 16 Oktober 2004, menulis berita tentang Irshad Manji dengan judul ”Lesbian Muslim Reformer is a New World Orderly.” Ditulis: ”Muslim ”reformer” and lesbian activist Irshad Manji, 35, symbolizes the globalist push to extinguish true religion and enslave humanity.”
Tentang akitivitas Irshad Manji dalam mendukung dan mempromosikan lesbianisme bisa dilihat dalam situsnya: www.irshadmanji.com. Kaum liberal pun membanggakannya sebagai sosok ”lesbian” yang – katanya – gigih melakukan ijtihad. Seorang aktivis liberal membanggakan Irshad Manji dengan menulis judul artikel dalam Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul: Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Ditulis di jurnal ini: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”
Sebuah contoh gugatan terhadap sosok Nabi Luth a.s. ditunjukkan oleh sekumpulan mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang yang menerbitkan Jurnal JUSTISIA. Pada Edisi 25, Th XI, 2004, diturunkan laporan utama berjudul ”Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dengan gagahnya, redaksi menulis pengantar: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”
Selanjutnya, artikel-artikel di Jurnal itu diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual”, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Disebutkanlah strategi ke arah legalisasi perkawinan sesame jenis (homo dan lesbi), yaitu: (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” (hal. 15).
Hina Nabi lecehkan al-Quran
Para penyokong gerakan legalisasi homoseksual ini berani membuat tafsir baru atas ayat-ayat al-Quran, dengan membuat tuduhan-tuduhan keji terhadap Nabi Luth. Seorang penulis dalam buku ini, misalnya, menyatakan, bahwa pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut. Si penulis kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam al-Quran surat al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks.
Ditulis dalam buku ini sebagai berikut : ‘’Karena keinginan untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya tahu, al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo disamping karena faktor kecewa karena tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo.” (hal. 39).
Cercaan terhadap Nabi Luth dan al-Quran terus dilanjutkan berikut ini: “Luth yang mengecam orientasi seksual sesama jenis mengajak orang-orang di kampungnya untuk tidak mencintai sesama jenis. Tetapi ajakan Luth ini tak digubris mereka. Berangkat dari kekecewaan inilah kemudian kisah bencana alam itu direkayasa. Istri Luth, seperti cerita al-Quran, ikut jadi korban. Dalam al-Quran maupun Injil, homoseksual dianggap sebagai faktor utama penyebab dihancurkannya kaum Luth, tapi ini perlu dikritisi… saya menilai bencana alam tersebut ya bencana alam biasa sebagaimana gempa yang terjadi di beberapa wilayah sekarang. Namun karena pola pikir masyarakat dulu sangat tradisional dan mistis lantas bencana alam tadi dihubung-hubungkan dengan kaum Luth…. ini tidak rasional dan terkesan mengada-ada. Masa’, hanya faktor ada orang yang homo, kemudian terjadi bencana alam. Sementara kita lihat sekarang, di Belanda dan Belgia misalnya, banyak orang homo nikah formal… tapi kok tidak ada bencana apa-apa.” (hal. 41-42).
****
Para mahasiswa tersebut – saat itu – sedang menimba ilmu di sebuah Perguruan Tinggi yang menyandang nama Islam, juga nama “Walisongo” (IAIN Walisongo Semarang). Para Wali itu adalah penyebar dan pendakwah Islam yang sangat gigih di Tanah Jawa. Wali Songo tidak bermain-main dalam masalah agama. Para Wali Songo bersikap tegas terhadap penyelewengan aqidah yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar.
Di dalam tradisi keilmuan Islam, sangat ditekankan masalah adab, bukan hanya kebebasan berpikir dan berbicara. Tiap manusia harus memahami adab bicara. Pemain bola di Eropa ada yang dihukum karena bicara bernada rasis. Seorang anak juga tidak bebas bicara kepada orang tuanya dengan – misalnya – bertanya kepada ayahnya: “Ayah, benarkah saya anak ayah? Tolong buktikan secara ilmiah!”
Adab juga menekankan sikap “tahu diri”. Tidak gampang bicara dan menulis sesuka hati, tanpa merujuk kepada pendapat para ulama yang punya otoritas tafsir ilmu al-Quran. Di dalam tiap bidang keilmuan, kita mengakui adanya otoritas. Tidak semua manusia bebas bicara dalam soal keilmuan. Contohnya, pelawak Thukul dan Prof. Mahfud MD sama-sama manusia. Tetapi, nilai kata-kata keduanya tidaklah sama saat bicara tentang arti pasal-pasal dalam UUD 1945. Dalam bidang ekonomi, begitu juga. Kita mengakui ada otoritas keilmuan dari para pakar ekonomi yang sudah diakui tingkat keilmuannya oleh komunitas ilmuwan internasional di bidang tersebut. Dalam bidang Fisika, kita akan tertawa geli jika ada mahasiswa baru belajar rumus-rumus dasar fisika lalu berterak-teriak, bahwa Newton, Einstein, Stephan Hawking, Habibie, ternyata bodoh semua!
Adalah suatu kehancuran besar, jika adab keilmuan ini tidak ditegakkan dalam bidang Ulumuddin. Jika kita mengakui al-Quran adalah Kitab wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka logikanya pasti kita mengakui, bahwa manusia yang paling memahami al-Quran adalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian, Nabi SAW menunjuk sejumlah sahabatnya yang beliau sebut sangat ahli dalam Tafsir al-Quran, seperti Ibnu Abbas dan Abdullah bin Mas’ud. Berikutnya, muncul para ahli tafsir al-Quran dari kalangan Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan seterusnya.
Sebagaimana dalam bidang Ilmu Ekonomi, Ilmu Fisika, dan sebagainya, Ilmu Tafsir juga merupakan ilmu yang sudah sangat matang perkembangannya dalam tradisi keilmuan Islam. Begitu juga Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Fiqih, Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Kalam. Jika hendak belajar Tafsir al-Quran, seharusnya orang mau merujuk kepada ilmuwan atau ulama yang memahami Ilmu Tafsir al-Quran.
Jika ditelaah dengan sedikit cermat saja, tampak bahwa Irshad Manji bukanlah orang yang punya otoritas memadai dalam pemahaman al-Quran. Itu bisa dilihat dalam bukunya, ”Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini”, yang bisa di-unduh di situsnya. Dalam buku ini, Irshad Manji, menyandarkan keraguannya terhadap al-Quran pada pendapat Christoph Luxenberg (seorang pendeta Kristen asal Lebanon yang menyembunyikan nama aslinya). Kata Manji: ”Jika al-Quran dipengaruhi budaya Yahudi-Kristen – yang sejalan dengan klaim bahwa al-Quran meneruskan wahyu-wahyu sebelumnya – maka bahasa Aramaik mungkin telah diterjemahkan oleh manusia ke dalam bahasa Arab. Atau, salah diterjemahkan dalam kasus hur, dan tak ada yang tahu berapa banyak lagi kata yang diterjemahkan secara kurang tepat. Bagaimana jika semua ayat salah dipahami?” (hal. 96).
Pendapat Christoph Luxenberg menyatakan bahwa selama ini umat Islam salah memahami al-Quran, yang seharusnya dipahami dalam bahasa Syriac. Tentang surga, dengan nada sinis Manji menyatakan, bahwa ada human error yang masuk ke dalam al-Quran. Menurut riset yang baru, tulis Manji, yang diperoleh para martir atas pengorbanan mereka adalah kismis, dan bukan perawan. “Nah, bagaimana bisa Al-Quran begitu tidak akurat?” tulisnya.
Pendapat Luxenberg yang dicomot begitu saja oleh Irshad Manji bahwa bahasa al-Quran harus dipahami dalam bahasa Aramaik telah ditulis dalam buku “Die syro-aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache”. Pendapat Luxenberg pun sangat lemah dan sudah banyak artikel ilmiah yang menanggapinya. Dr. Syamsuddin Arif telah mengupas masalah ini secara tajam dalam bukunya, “Orientalis dan Diabolisme Intelektual”.
Menurut Syamsuddin, Professor Hans Daiber, misalnya, memberikan seminar terbuka tentang karya Luxeberg itu selama satu semester penuh di Departemen Orientalistik Universitas Frankfurt, dimana ia ungkapkan sejumlah kelemahan-kelemahan buku itu secara metodologi dan filologi. Salah satu kelemahan Luxenberg, misalnya, untuk mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1.900!
Jadi, penghormatan berlebihan terhadap Irshad Manji, merusak dua hal sekaligus: otoritas keilmuan Islam dan juga asas-asas akhlak Islam. Kita yakin, masih banyak ulama, cendekiawan, dan kalangan umat Islam yang sadar dan cinta akan agamanya. Kita cinta negeri kita, sehingga kita berharap, negeri Muslim terbesar ini tidak menjadi tong sampah pemikiran! Wallaahu a’lam bil-shawab.