Syekh Yusha Evans: Misionaris yang Memeluk Islam
muallaf 20.17
kisahmuallaf.com – Suatu hari di musim panas 1996. Yusha Evans, seorang misionaris muda kedatangan seorang teman bernama Benjamin.
Ia tak pernah menyangka, kehadiran temannya itu bakal menggoyahkan imannya. Sebuah pertanyaan tak terduga yang dilontarkan temannya membuatnya melepaskan keyakinannya sebagai seorang Kristen.
‘’Apakah kau pernah membaca seluruh isi Alkitab?’’ Tanya Benjamin.
‘’Apa maksudmu? Saya seorang misionaris Kristen dan bagaimana mungkin kau bertanya seperti itu padaku?’’ cetus Yusha.
‘’Apakah kau pernah membaca Alkitab seperti membaca sebuah novel: mengetahui tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, mengetahui plot dan tempatnya serta tahu seluruh detail isinya?’’
Yusha mengaku tak pernah membaca Alkitab dengan cara itu. Lalu Benjamin menantangnya untuk membaca kembali Alkitab dari awal hingga akhir. Ia memintanya untuk membaca
Alkitab selama beberapa bulan dan tidak menyentuh buku lain, kecuali Alkitab.
Maka mulailah Yusha membaca Alkitab dari Kejadian 1:1. Ia sangat tertarik dengan kisah para nabi. Dalam Alkitab, dikisahkan bahwa Nabi Nuh Alaihissalam menyampaikan wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tapi tidak ada satupun umatnya yang mengikuti seruannya.
Lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghukum umat Nabi Nuh dengan mendatangkan banjir besar, dan hanya Nabi Nuh Alaihissalam serta orang-orang yang naik ke kapal saja yang selamat.
Setelah banjir, seperti dikisahkan dalam Alkitab, Nabi Nuh Alaihissalam meminum anggur dan keluar dalam keadaan mabuk. Yusha mengaku sangat heran, mengapa Nabi Nuh Alaihissalam seorang utusan Tuhan bisa bersikap seperti itu.
‘’Tidak mungkin seorang nabi bersikap seperti itu. Maka saya tahu mengapa umat Nabi Nuh tidak mendengarkan apa yang ia sampaikan, karena ia mabuk,” kata Yusha kecewa.
Yusha kembali melanjutkan bacaannya. Semakin dalam membaca, kian banyak ia menemukan kesenjangan dalam Alkitab. Beberapa kisah nabi yang dibacanya justru tak mencerminkan nabi itu sebagai utusan Tuhan. Mereka malah seperti pelaku kriminal, yang justru dicari-cari polisi.
Ia pun amat penasaran. Yusha lalu bertanya kepada pendeta di gereja tempat melakukan misa. Ia mempertanyakan banyak hal. Namun Yusha tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Para pendeta yang ditemuinya berkata, ‘’Janganlah ilmu pengetahuan yang sedikit mempengaruhi keyakinannya terhadap Yesus.’’
Yusha diminta agar tidak perlu mempelajari segala hal. Ia diminta hanya cukup percaya saja pada apa yang diajarkan. Sejumlah pendeta memintanya agar tidak membaca Perjanjian Lama. Alasannya, Alkitab tersebut sudah tidak lagi terpakai. Mereka memintanya untuk membaca Perjanjian Baru.
Di dalam Perjanjian Baru, Yusha menemukan sebuah ayat yang menyebut bahwa Yesus berkata Tuhan itu satu. Dan hal tersebut terus diulang-ulang di ayat dan surat berikutnya dengan cara yang berbeda. Sama seperti ajaran Musa dalam 10 Perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hal pertama yang diperintahkan adalah menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada yang lain.
Yusha lalu mencari tahu mengenai Yesus. Ia menemukan ayat yang menyebutkan bahwa Yesus memerintahkan hal yang sama: menyembah satu Tuhan. Rasa penasarannya semakin menggebu. Ia pun mulai mempertanyakan tentang penyaliban Yesus. Dalam ajaran yang ia terima, Yesus dipaku pada bagian tangannya.
Dalam hatinya muncul kegamangan. Yusha berpendapat, hal tersebut sangatlah konyol. Seseorang yang telapak tangannya disalib tidak akan bertahan lama di atas tiang. Ia pun menyampaikan pendapatnya itu kepada para pendeta. Alih-alih mendapatkan jawaban, ia justru dilarang untuk melakukan khutbah Kristen di gerejanya.
Saat kondisi imannya sedang goyah, Benjamin kembali menemui Yusha. ‘’Aku telah membaca Alkitab berulang kali. Alitab itu pula dicetak berulang kali, namun selalu masih saja ada salah penulisan. Padahal, Tuhan itu sempurna. Ciptaannya pun sempurna dan kitabnya juga haruslah sempurna,’’ ujar Benjamin.
Sejak hari itu, Yusha melepas Kristen sebagai agama yang diyakininya. Ia memutuskan meninggalkan agamanya dan memilih untuk mencari agama lain. Ia mempelajari Buddha dan beberapa agama lain, termasuk Islam. Yusha juga sempat membaca sebuah buku tentang Islam, tetapi hal itu tidak membuatnya senang. Ia akhirnya tidak mengikuti satu agama dunia pun.
‘’Tuhan, jika Engkau tidak memberi saya petunjuk, maka saya akan mencari jalan sendiri,’’ Yusha memanjatkan sebuah doa. Saat itu, ia berusia 17 tahun.
Yusha Evans lahir dan besar di South Carolina, Amerika Serikat. Ia dibesarkan oleh kakek (Indian Amerika) dan nenek (Irlandia) yang sangat konservatif. Kakek dan neneknya selalu mengajarkannya berdoa sebelum makan, sebelum tidur, tidak boleh menyalakan musik keras-keras, tidak membawa perempuan ke rumah.
‘’Itu yang saya pelajari di sekolah Minggu,’’ ujar Yusha. Masa kecilnya dihabiskan bersama nenek dan kakeknya. Menginjak usia 14 tahun, neneknya mengajak Yusha ke sebuah pelayanan Sabtu yang benar-benar berbeda dengan apa yang dialaminya di sekolah Minggu.
Di sana mereka bermain bola, voli, basket. Di pelayanan Sabtu, Yusha juga menemukan banyak makanan, kue, dan permen. Di kahir pertemuan, pastor yang memimpin acara itu mulai memberikan pengajaran tentang agama. Ia sangat menyukainya, karena tempat itu seperti sekolah normal.
Ketika berumur 15 tahun, nenek Yusha meminta pastor muda yang biasa melayaninya di gereja untuk mengantarkan cucu kesayangannya itu ke sekolah. Yusha belum memiliki surat izin mengemudi (SIM), sehingga belum boleh mengendarai mobil sendirian. Pastor yang usianya tiga tahun lebih tua dari Yusha itu menjadi teman baiknya.
Bersama pastor muda itu, Yusha diajak ke sebuah perkumpulan remaja yang bernama “Kehidupan Remaja”. Perkumpulan ini tidak seperti perkumpulan biasanya. ‘’Kelompok itu seperti yang kau lihat di televisi. Ada orang bernyanyi dan bermain gitar. Khutbah yang dilakukan dalam kelompok itu tidak seperti khutbah yang ada gereja. Dalam menyampaikan khotbahnya, ia (pastor) berteriak-teriak dan menyampaikannya dengan lantang langsung ke orang-orang.’’
Hal ini sangat menarik bagi Yusha. Mereka mengajarkan Kristen dengan cara yang berbeda dari yang dipelajari saat masih kecil. Menginjak usia 16 tahun, ia sudah tahu apa yang diinginkannya. Yusha ingin menjadi seorang misionaris. Sebagai seorang yang perfeksionis, ia ingin mendalami Kristen secara utuh. Ketika ia ingin sesuatu, maka apa yang ia lakukan harus terselesaikan.
Suatu hari, Yusha pergi ke New York bersama beberapa temannya. Di kota terbesar di dunia itu, ia kehabisan uang dan memutuskan untuk mengambil uang dari sebuah mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Ketika mengambil uang, ia dirampok oleh orang-orang bersenjata.
Kejadian itu membuatnya sangat takut, sehingga hari itu juga Yusha kembali ke rumah neneknya. Ia tidak menceritakan peristiwa yang menimpanya kepada sang nenek. Ia menyimpannya, sampai akhirnya mendapatkan mimpi buruk.
Dalam mimpi itu, orang yang merampoknya di ATM menembaknya hingga mati. Lalu, ia melihat sesuatu tengah menantinya di sisi lain kehidupan. Ia tidak mengetahuinya.Yusha sangat ketakutan. Ia terbangun dari mimpinya sambil berteriak.
Sang nenek datang dan bertanya, ‘’Mengapa kau berteriak? Lalu, Yusha menceritakan segalanya, tentang perampokan dan mimpi yang dialaminya.
‘’Tuhan mempunyai satu rencana untukmu, percayalah,’’ ujar sang nenek.
‘’Lalu apa yang harus kulakukan?” tanyanya.
“Kau harus kembali pada-Nya. Kau harus mencari-Nya.”
Yusha pun linglung. Ia sudah mencari Tuhan kemana-mana, namun tidak menemukannya. Neneknya berkata, ‘’Tuhan tidak akan pergi kemana-mana, kau hanya perlu menemukannya.’’ Sang nenek tidak menyuruhnya untuk kembali ke gereja, hanya memintanya untuk mencari Tuhan.
Yusha mulai menjadi agnostik: mempercayai adanya Tuhan, namun tidak menganut agama apapun. Ia melakukan doa dengan caranya sendiri. Ia merasa jenuh dengan hal tersebut dan akhirnya memohon pada Tuhan, “Kalau Engkau ingin aku mengenal-Mu, maka bimbinglah aku.”
Sejak saat itu, ia tidak mau mendengar lagi apa yang harus dipercayainya. Tusha ingin melihat apa yang harus dipercayainya. Ia telah membaca banyak buku dan kitab agama lain, namun tidak satu pun yang sesuai dengan apa yang dipercayai olehnya.
Sampai pada suatu hari, Yusha berkunjung ke rumah seorang temannya bernama Musa yang beragama Islam. Selama bertahun-tahun Yusha mengenalnya, ia sama sekali tidak menyadari kalau temannya itu adalah seorang Muslim. Dalam pertemuan itu, mereka membicarakan tentang agama. Dari situlah, Yusha berkenalan dengan Islam yang sebenarnya.
Karena tidak mempercayai adanya komunitas Islam di lingkungannya, teman Afro-Amerika yang Muslim itu mengajak Yusha ke masjid, sebuah tempat yang tepat untuk menanyakan tentang Islam. Yusha selama ini tidak pernah menyadari bahwa di lingkungannya terdapat masjid. Apalagi letaknya tidak jauh dari gereja.
“Dan saya tidak menyadarinya!” ujarnya.
Ia lalu berkunjung ke masjid. Saat sedang menunggu Musa, seorang lelaki mendekatinya dan bertanya, ‘’Apa sedang kau lakukan di sini?’’
‘’Aku sedang menunggu Musa.’’
‘’Musa tidak terlalu sering datang ke masjid. Namun, jika kau ingin melihat masjid, saya dengan senang hati akan mengantarkanmu.’’
Awalnya. Yusha merasa takut. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya untuk masuk ke masjid. Selama ini, pikirannya tentang Islam sangat buruk, namun pria itu memperlakukannya dengan sangat baik.
Ia pun masuk ke dalam masjid tersebut dan mendengarkan khutbah. Awalnya, ia berpikir bahwa lafal ayat-ayat dalam bahasa Arab yang disampaikan khatib bermaksud untuk membunuhnya. Namun, ketika khatib tersebut menerjemahkan kalimat-kalimat Arabnya, Yusha menyadari apa yang dikatakan khatib itu adalah tentang menyembah Tuhan yang satu.
Usai shalat Jumat, ia menemui khatib dan bertanya, ‘’Apa yang barusan kalian lakukan tadi?’’
‘’Tadi kami melaksanakan shalat, menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.’’
Ketika sang khatib hendak menjelaskan kepada Yusha tentang Islam, ia segera memotongnya, ’’Saya tidak ingin penjelasan. Saya ingin bukti. Apabila memang agama Anda benar, maka buktikanlah.’’
Kakeknya pernah berkata pada Yusha. Ketika orang mengklaim sesuatu itu benar, maka perlu pembuktian. Karena Yusha meminta bukti pada khatib, ia lalu diajak ke ruangannya. Khatib itu memberikannya Al-Quran, kitab suci umat Islam. Lalu Yusha membawanya pulang dan membacanya.
Ia terperangah dan terpesona dengan Al-Quran yang dibacanya. Selama tiga hari, ia tidak dapat berhenti membacanya. Ia begitu meyakini kebenaran yang tercantum dalam Al-Quran. Hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala memancar dalam kalbunya. Yusha pun bertekad untuk menjadi seorang Muslim.
Yusha kembali ke masjid dan menemui sang khatib. Lalu ia berkata, ’’Saya ingin menjadi Muslim.”
‘’Kau harus memahami satu hal lain apabila ingin menjadi seorang Muslim. Anda harus tahu tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.’’
Yusha pun membaca tentang kisah Nabi Muhammad. Ia pun meyakini Muhammad sebagai utusan Allah. Pada Desember 1998, Yusha yang bernama asli Joshua akhirnya memeluk Islam.
‘’Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Aku juga bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.’’
Sejak itu, ia mempelajari Islam dari sejumlah ulama di Mesir dan Amerika Serikat. Kini, Yusha menjadi seorang dai dan penceramah.
Umat Islam di negeri Paman Sam memanggilnya, Syekh Yusha Evans. Ia berkhidmat di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan menyebarkan ajaran Islam.
sumber :klik