Jeremy Boulter: Allah Itu Maha Perkasa, Tak Butuh Perantara

Dalam beragama Jeremy Ben Royston Boulter, seorang penganut Katolik, berkeyakinan bahwa Tuhan sebagai pencipta alam semesta tidak membutuhkan medium untuk berkomunikasi dengan ciptaan-Nya.

Dan sebaliknya, manusia tidak membutuhkan medium untuk berkomunikasi dengan-Nya. Prinsip itu ia jaga saat mencari kebenaran hakiki.

Jeremy dilahirkan memang dilahirkan dalam keluarga Katolik. Akan tetapi ia tidak memercayai Yesus sebagai Tuhan, dan Maria sebagai Ibu Tuhan. Menurutnya, Yesus dan Bunda Maria hanyalah penghubung Sang Pencipta.

“Saya merasa frustasi dengan Perjanjian Lama. Terlalu banyak kejanggalan. Misalnya saja, Tuhan menganggap Yerusalem sebagai istrinya, dan apa yang dipercaya membuat keduanya berposisi sejajar. Tetapi, Tuhan memanggilnya pelacur, dan memintanya agar bertobat. Bagaimana ini?” kata dia.

Jeremy menduga Alkitab merupakan dalih gereja untuk tujuan tertentu. Merasa tak menerima logika yang dibangun Alkitab, ia memilih untuk mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Ia pelajari sejarah Perang Salib, termasuk manuver Paus saat membangun kekuatan dan kekuasaan di Eropa melalui Portugis dan Spanyol. Ia juga mempelajari pemerintahan teror ala Machiavelli.

“Dari apa yang saya baca, saya melihat upaya gereja menahan dan menolak kemajuan ilmu pengetahuan. Saya percaya Tuhan versi Alkitab adalah palsu, dirancang untuk membohongi banyak orang demi kekuasaan,” ucapnya.

Dalam pemahaman Jeremy, Tuhan versi Alkitab adalah sosok yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Ia membutuhkan medium untuk berkomunikasi dengan ciptaan-Nya. Jadi, Jeremy sulit menerima logika ini.

Pemahaman itu kian menguat ketika ia banyak membaca fiksi ilmiah dan teori konspirasi primitif. Menurutnya, pemikiran Erich Von Daniken (Chariots of The Goods) dan Charles Berlitz dan William Moore (The Philadelphia Experiment) membuka pikirannya bahwa ada semacam konpirasi yang dilakukan kalangan elit dan pemerintah terhadap masyarakat awam.

Namun, tidak setiap negara dan pemerintahan terlibat dalam konspirasi besar. “Saya membutuhkan perbandingan guna mendapatkan kesimpulan yang pasti. Maka saya jadikan Hindu dan Buddha sebagai bahan perbandingan,” kata dia.

Jeremy mulai mempelajari Hindu. Ia ikuti ritual dalam agama tersebut seperti meditasi. Selama meditasi ia merasa tenang, tapi ketika bicara bagaimana dunia dan manusia tercipta, ia merasa aneh.

“Mereka bicara tentang kosmos, evolusi dan reinkarnasi. Jelas, saya segera meninggalkan agama ini,” tuturnya.

Usai mendalami ajaran Hindu, ia eksplorasi ajaran Buddha. Dalam kepercayaan Buddha, Jeremy menyimpulkan, setiap manusia mencari pencerahan dan kebebasan dari siklus kelahiran dan kematian.

Pencerahan ini meniadakan ego. “Saya melihat agama ini lebih banyak bicara filsafat,” kata dia.

Jeremy menyimpulkan ajaran Budha seperti konsep dalam pemikiran Karl Marx. Menurut Marx, agama itu adalah candu bagi masyarakat. Karena sifat candu itu, mereka (umat beragama) dikendalikan oleh kelompok elit dalam masyarakat.

Merasa telah memahami ajaran Buddha, ia dalami Toteisme. Jeremy perlu melihat sistem kepercayaan kuno ini guna menarik benang merah dari proses beragama di dunia. Dalam Totemisme, semua hal memiliki penghubung.

Dalam buku James Lovelock, The Revenge of Gaia, disebutkan bahwa bumi adalah sosok yang harus dihormati, mampu membimbing dan melindungi manusia. Namun bagi Jeremy, bumi itu terlalu sempit. Sebab, di luar bumi terhadap langit yang begitu luas.

Guna mendapatkan esensi “penghuni” langit. Jeremy banyak membaca tentang astrologi. Melalui astrologi, ia berusaha memahami mengapa posisi benda langit akan menentukan nasib makhluk. “Untuk sementara, saya menjadi peramal amatir,” ujarnya sembari tersenyum.

Suatu ketika, Jeremy bertemu dengan seorang pria. Ia tak ingat siapa namanya. Yang pasti, pria itu berasal dari Irlandia, penganut Katolik Roma. Ketika bertemu dengannya, Jeremy tengah membaca buku karya Stewart Farrar, Omega. Sepanjang hari mereka berdua berbicara panjang lebar tentang konsep Tuhan.

Pria Irlandia itu setuju dengan pemahaman Jeremy soal kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Jeremy berpendapat segala isi alam memiliki sistemnya sendiri, tetapi ada satu hukum yang membuatnya berjalan seiring sejalan dan harmonis. Sebuah hukum semesta yang dikendalikan sosok yang berkuasa dan berkekuatan Mahadahsyat.

Di tahun pertama penikahannya dengan Anabela, perempuan Portugis penganut Katolik, Jeremy berteman dengan pria pecinta alam.

Suatu hari, Jeremy dan istrinya diajak pria itu mengunjungi tempat favoritnya. Jeremy dan istri sengaja membawa anak mereka, Andrei Micael guna menjalani pembaptisan.

“Saya tidak ingin anak saya dibaptis dengan air suci oleh pastor. Saya memilih untuk membaptisnya dengan air sungai, serupa dengan apa yang dialami Yohannes. Kala itu, ia dibaptis dengan air suci sungai Yordan,” ujarnya.

Dalam hatinya, Jeremy merasa aneh dengan konsep baptis. Sebab, ia meyakini bahwa setiap anak yang lahir ke dunia pada dasarnya tidak membawa dosa apa pun. Sebaliknya, orang dewasalah yang seharusnya dibaptis lantaran terlalu banyak melakukan perbuatan dosa.

Usai membaptis anaknya, Jeremy dan keluarga kecilnya kerap dikunjungi ibu mertua setiap musim panas. Seperti istrinya, ibu mertua Jeremy merupakan penganut Katolik Roma. Ia seorang yang antusias dengan konsep trinitas. Hal itu terlihat dari kalung salib yang sering ia gunakan. Sang ibu mertua juga rutin menyambangi tempat-tempat suci.

“Bagi saya, apa yang diperlihatkan ibu mertua adalah hal yang aneh dan menjijikkan. Ia masih saja menerapkan konsep primitif. Sudah jelas, Tuhan itu perkasa. Dari situ, saya bertekad membujuk ibu mertua untuk tidak lagi bertuhan pada sosok yang masih tergantung oleh mediator,” ungkap Jeremy.

Pikiran Jeremy segera terbang menuju alam logika. Apa yang ditunjukkan ibu mertua, memicu dirinya untuk kembali mengasah kemampuan berpikirnya. “Saya selalu berpikir, bagaimana orang mati apakah masih bisa mendengar? Bagaimana kita tahu tingkat kesalahan mereka? Banyak pertanyaan dalam otak saya. Spontan saja, saya ambil Alkitab,” tuturnya.

Usai membaca Alkitab, Jeremy menyimpulkan, Tuhan membawa umat Yahudi keluar dari Mesir, melepaskan mereka dari perbudakan. Karena itulah, Tuhan melarang umat Yahudi untuk bertuhan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tidak bertuhan pada patung berhala atau mahkluk Tuhan yang hidup di langit dan bumi.

Menurut Jeremy, jika itu benar, maka akan banyak bukti bahwa Allah itu satu. Hanya Dia yang bisa mendengar setiap harapan dari umat manusia. “Saya semakin menyadari bahwa apa yang dikatakan Alkitab bertentangan dengan ajaran gereja. Jelas, Alkitab mengatakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah satu. Saya merasa takut, bahwa saya benar,” ujarnya.

Sejenak pemikiran kritis Jeremy teralihkan dengan persoalan keuangan keluarga. Semenjak putranya lahir. Kebutuhan terus meningkat. Celakanya, pendapatan Jeremy tak kunjung bertambah.

Pada periode inilah, ia mulai menerima cobaan dari Yang Mahakuasa. Cobaan itu sejatinya akan membawa Jeremy pada kekuatan Tuhan seperti apa yang ia yakini selama ini.

Jeremy mulai terjerat utang. Itu terjadi karena ia memutuskan keluar dari pekerjaannya di British Council dan sekolah bahasa di Braga. Alasannya, ia ingin fokus membesarkan putranya. Guna mengimplementasikan niatan itu, ia putuskan membeli rumah karena enggan menetap di apartemen sewa.

Ia sadar bahwa kondisi keuangannya tidak memungkinkan. Oleh sebab itu, ia nekad memijam uang di bank guna membeli rumah dan membuka bisnis kecil-kecilan sebagai guru les bahasa Inggris.

Perlahan tapi pasti, usahanya itu merangkak naik. Sedikit demi sedikit, utangnya berkurang. Tapi Jeremy merasa butuh pemasukan lebih besar. Oleh istrinya, ia disarankan untuk mencari pekerjaan di luar negeri.

Kebetulan, Anabela memiliki banyak kenalan suami teman-temannya yang mencari nafkah di luar negeri. “Saya melihat hanya itu peluang untuk hidup lebih baik,” kata Jeremy.

Suatu malam, Jeremy berlutut menghadap ke timur. Ia curahkan masalah yang ia hadapi kepada Sang Khalik. “Saya katakan pada-Nya, saya merasa putus asa. Saya merasa kesulitan memberi nafkah istri dan anak. Saya meminta pertolongan-Nya. Selama itulah, saya merasa nyaman, dan akhirnya terlelap dalam tidur,” kenangnya.

Keesokan hari, Jeremy menerima kejutan. Dalam kolom surat kabar hari itu, terdapat lowongan pekerjaan di tempat kerjanya yang lama. British Council membutuhkan tenaga untuk ditempatkan di luar negeri. Melihat iklan itu, Anabela menyarankan suaminya agar bekerja di Timur Tengah. Di kawasan itu, menurut pemikiran Anabel, suaminya bakal mendapatkan gaji relatif tinggi.

Awalnya, Jeremy memilih Taiwan. Sayang, ia gagal mendapatkan posisi itu. Dari pilihan yang ada, tersisa Universitas Arab Saudi. Tak disangka, Jeremy diterima untuk mengajar bahasa Inggris. “Segala puji bagi Allah. Ia menjawab doaku. Tapi itu barulah awal, karena Allah memberikan sesuatu yang lebih padaku,” tuturnya.

Jeremy akhirnya berangkat menuju Teluk. Oleh teman-temanya, ia diperingati bahwa di negara itu, Arab Saudi, ia tidak bebas melakukan apa pun.

Bahkan ada koleganya yang menasihati Jeremy agar mengurungkan niatnya itu. “Saya mencoba untuk tidak memikirkan apa yang dikatakan teman-teman. Saya hanya fokus memikirkan bagaimana beradaptasi dengan lingkungan baru,” paparnya.

Benar saja, apa yang diungkapkan teman-temanya itu tidak sesuai fakta. Tiba di bandara, ia disambut dengan hangat. Jeremy memberi poin khusus untuk sambutan ramah tersebut. Awalnya, Jeremy belum merasa tertarik untuk segera mencari tahu seperti apa budaya masyarakat Arab.

Perwakilan kampus segera menjemput dan membawanya. Namun, ia terlebih dahulu harus melalui pemeriksaan paspor dan mengisi formulir kedatangan. Lalu, ia dikirim ke kepala Departamen Bahasa Inggris. Ketika masuk ruangan, ia berhadapan dengan pria berjubah, layaknya pakaian yang dikenakan pria Saudi.

“Ia tidak terlihat seperti orang Arab. Ia pasti merasa tidak nyaman dengan tatapan mataku. Ternyata ia berasal dari Wales, tapi ia telah menjadi Muslim saat bekerja di Brunei, sebelum pindah ke Arab Saudi,” kata Jeremy.

Oleh pria itu, Jeremy diminta untuk beradaptasi selama lima hari sebelum ia resmi mengajar. Lalu, ia diantar menuju rumahnya. Selama perjalanan itu, ia teringat betul pertemuan dengan pria itu. Ingatan itu kembali mendorong Jeremy untuk kembali ke alam logika. Kemampuan berpikirnya kembali diuji.

Jeremy mulai menyadari bahwa Injil dan Taurat saling berhubungan. Tapi ia belum sepenuhnya membaca kitab lain, seperti Talmud, dan Al-Quran. Entah mengapa, ia merasa asing dengan kedua kitab itu. Terlebih, kedua kitab itu menggunakan bahasa berbeda dengan kitab yang pernah ia baca.

Tapi ia tidak menyerah, ia cari kedua kitab itu dalam terjemahan bahasa Inggris. “Saya menuju pusat kota untuk mencari terjemahan itu. Saya menuju bangunan bertingkat di kawasan Ha’il. Lalu saya menemukan bangunan bertingkat bernama Al-Bourj. Di bangunan itu, saya melihat semua toko ditutup pada sore hari,” tuturnya.

Gagal menemukan apa yang ia cari, Jeremy kembali untuk mencari kitab terjemahan itu. Sayang, tak satu pun dari mereka yang memiliki kitab terjemahan. Ia kembali menuju Al-Bourj, kali ini ia beruntung toko yang dicari tidak tutup. Yang membuatnya terkejut, pengunjung toko kebanyakan berasal dari Asia Tenggara dan Oseania.

Namun, Jeremy tetap saja tidak dapat menemukan buku dicari. Merasa frustasi, ia keluar sejenak dari toko. Di luar toko buku, Jeremy melihat ada anak tangga. Ia bermaksud mencari tempat membaca. Kemudian, ia bertemu dengan petugas polisi.

Oleh polisi itu, Jeremy diarahkan ke sebuah ruangan baca. Memasuki ruangan itu, Jeremy melihat rak berisi buku usang. “Saya merasa putus asa dengan apa yang saya alami. Saya sulit menemukan buku dalam bahasa Inggris,” kenangnya.

Beruntung, ada salah seorang staf British Council yang menemukannya. Jeremy lalu meminta bantuan staf itu untuk membimbingnya menemukan buku yang ia cari. Selang beberapa saat, pria berjanggut datang menghampiri Jeremy. “Saya menyapanya, dengan mengatakan saya ingin membaca Al-Quran,” kata Jeremy, yang selanjutnya terlibat diskusi dengan pria tersebut.

Pria berjanggut itu membawa buku tebal dengan sampul mengilap. Pria itu lalu mengatakan pada Jeremy bahwa buku ini bukan terjemahan, melainkan penjelasan dari setiap ayat Al-Quran dalam bahasa Inggris.

“Saya kembali bingung. Saya mengulangi permintaan sebelumnya. Saya ingin terjemahan. Tapi ia ngotot bahwa itu adalah terjemahan,” kata Jeremy. Akhirnya, ia menerima buku itu, meski sedikit jengkel.

Jeremy merasa pria tersebut tidak peka dengan apa yang tengah dialaminya. Pria itu selalu saja bertanya kepadanya soal alasan di balik keinginan membaca Al-Quran.

Pria tersebut lantas meminta Jeremy agar tidak meletakkan Al-Quran di atas lantai atau kursi. Dilarang pula, menduduki atau menginjak Al-Quran. Larangan lain, jangan membaca Al-Quran di lokasi tidak suci, seperti kamar mandi.

Pria itu juga segera memberi syarat tambahan, yakni selepas membaca Al-Quran diharapkan agar ditaruh kembali di atas rak. Serta tidak membiarkan Al-Quran terbuka dalam kondisi terbalik. “Kenapa begitu?” tanya Jeremy.

Pria itu menjelaskan, Al-Quran berisi firman yang Mahakuasa, jadi seharusnya menghadap ke atas bukan ke bawah. Selepas dibaca, sebaiknya halaman terakhir jangan pula dilipat melainkan diberikan pembatas. Jeremy pun menerima syarat yang diajukan.

Setelah berkutat dengan pria itu, Jeremy mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia tak sabar untuk segera pulang ke rumah dan membacanya. Sayang, masa adaptasi segera berakhir. Disamping itu, di Arab Saudi, Kamis dan Jumat adalah hari libur.

Tapi itu tidak masalah buatnya. Sepekan berikutnya, ia kembali meminjam Al-Quran dan membacanya. Entah mengapa, Jeremy merasa membaca intisari Injil dan Taurat. Padahal bukan kedua kitab itu yang ia baca.

“Hal yang menarik dalam Al-Quran, tidak ada sebutan “Nabi Berkata” atau “Kata Allah Subhanahu Wa Ta’ala”. Jadi, saya merasa seperti membaca apa yang disampaikan Tuhan kepadaku,” ucapnya.

Segera saja Jeremy menangis. Hatinya merasa pilu, sakit dan takut. Ia melihat dirinya, keluarganya, dan teman-temannya mencerminkan sikap orang kafir, munafik dan musyrik. “Saya baca Surah Al-Baqarah (2), Ali-Imran (3), An-Nisa (4), Al-Ma’idah (5) dan Al-An’am (6), tiba di bagian akhir, saya melihat isinya padat dan ringkas,” tuturnya.

Tiba-tiba, pada satu surah, yakni Al-Ikhlas yang berbunyi, “Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Jeremy sangat terkejut.

Namun, ia mempertanyakan apakah memang benar, umat Islam benar-benar percaya Tuhan itu Esa. Jika benar, berarti ia telah mengabaikan masalah ini. “Saya terus bertanya-tanya. Saya harus mengkonfirmasi masalah ini dengan temanku yang Muslim,” ujarnya.

Lalu, Jeremy pun berdialog dengan temannya yang bernama Ismail Rostron—mualaf kulit putih—dan Jamal, Muslim asal Pakistan.

Jeremy tak berhenti takjub dengan apa yang ia alami. Namun, dalam hatinya ia sudah mantap memeluk Islam.

Akan tetapi, ada tiga hal penting yang harus diselesaikan. “Istri saya tentu harus menerima agama ini, lalu ia setuju meninggalkan pekerjaannya dan tinggal bersama saya di Saudi,” kata Jeremy.

Dengan kata lain, Jeremy sebenarnya sudah mantap dengan apa yang ia simpulkan. Hanya saja, ia tidak mau meninggalkan masalah apa pun. Mulailah ia mengajak bicara istrinya. Ia berusaha menjelaskan semuanya tanpa berlebihan.

Anabela terkejut bukan kepalang ketika mengetahui apa yang telah diputuskan suaminya. “Sepertinya kau telah berpindah agama,” kata Anabela dalam surat elektronik yang dikirimkan kepada Jeremy.

Dalam surat balasannya, Jeremy mengaku telah memutuskan untuk memeluk Islam. Anabela sempat kesal lantaran Jeremy tidak berkonsultasi dengannya. Namun, Jeremy meyakinkan sang istri bahwa dirinya belum menjadi Muslim.

“Tapi hati saya telah mejadi Muslim,” ungkap Jeremy. “Saya sempat merasa ragu dengan hal ini, tapi masalah itu sempat lenyap sementara saat Natal tiba.”

Berpaling sejenak dari persoalan dengan istrinya, Jeremy tergerak untuk melihat bagaimana seorang Muslim melaksanakan shalat. Saat itu, ia tengah berjalan-jalan di pusat kota. Spontan saja, ia membeli pakaian tradisional Timur Tengah. Ia kenakan baju itu, lalu ia mengikuti ummat Muslim yang berjalan mengikut asal suara adzan.

Sepanjang jalan, Jeremy sedikit gelisah. Ia berhenti sejenak. Rupanya, shalat sudah dimulai. Ia lihat seluruh orang mengangkat tangannya lalu melipatnya di atas dada mereka. Berada pada barisan belakang, Jeremy langsung saja memasuki shaf yang masih kosong. Ia tiru setiap gerakan shalat.

Selesai shalat, Jeremy dihampiri dua anak-anak. Mereka menyapa Jeremy, “Anda Muslim?”

Mendengar sapaan anak-anak itu, Jeremy gelisah. Tapi dengan tenang ia balas sapaan itu. Tanpa diduga, anak-anak itu memberitahunya bagaimana gerakan shalat yang benar. Mereka mengarahkan bagaimana seharusnya ia bersujud dan rukuk. “Anak-anak itu segera menarik tanganku, entah saya mau dibawa kemana,” kenang Jeremy.

Tak lama, ia sampai di sebuah rumah. Di dalamnya, terdapat remaja berusia 15-16 tahun. Ia lalu menyapa Jeremy. Lantaran tidak mengerti apa yang diucapkannya, Jeremy hanya mengangguk. Remaja itu beranjak dari tempat duduknya, lalu memasuki ruangan lain. Lima menit kemudian, ia sajikan secangkir kecil kopi Arab. Jeremy dan remaja itu lalu terlibat perbincangan.

Remaja itu hanya bisa membalas pertanyaan Jeremy dengan bahasa isyarat. Dari isyarat itu, Jeremy mengartikan bahwa ia harus menunggu. Tak lama berselang, datang seorang pria dewasa. Dia tampak terkejut ketika melihat saudaranya bersama Jeremy.

“Amerika?” tanya Pria itu.

“Tidak, Saya Inggris,” jawab Jeremy.

“Selamat datang,” sapa pria itu. Lalu pria itu mengucapkan “Tawadha!”, yang artinya ambil wudhu. Ia ingin Jeremy bersiap-siap menuju masjid guna melaksanakan shalat Isya. Seperti sebelumnya, Jeremy meniru setiap gerakannya.

Kian mantap Jeremy memeluk Islam. Ia datangi kantor Perkembangan Dakwah Islam. Kepada mereka, Jeremy mencari informasi resmi terkait perpindahan agama.

Beberapa langkah memasuki kantor itu, Jeremy begitu terkejut ketika begitu banyak warga Eropa. Duduk sejenak, ia disapa pria India bernama Syekh Farooq. “Ada yang biasa saya bantu?” tanya si syekh.

Mendengar suara Farooq yang lembut, Jeremy begitu lega. Sebab, ia merasa gelisah sedari awal sebelum memasuki gedung. Namun, ternyata prosesnya tidak semudah yang dibayangkan. Oleh Farooq, ia diminta mengikuti sejumlah pelatihan sebelum menjadi Muslim.

Saat itu, tak hanya Jeremy saja yang mendatangi kantor tersebut. Ada dua orang lain. Yang pertama berasal dari Filipina, namanya Daud. Ia seorang Kristen yang bekerja di apartemen tempat Jeremy tinggal. Yang kedua, John. Ia menjadi Muslim karena istrinya seorang Muslim. Keduanya merupakan teman dekat Jeremy.

Ketiganya akhirya dimasukkan dalam program yang sama. Mereka dibimbing oleh dua orang Muslim yang bernama Syekh Ehad atau Abu Abdurrahman dan Syekh Farooq. Keduanya menjelaskan Islam dengan rinci dan sederhana. “Mereka mengatakan Islam adalah agama monoteisme. Menjadi Muslim merupakan langkah besar dalam hidup kalian,” kata Jeremy menirukan dua pembimbingnya.

Dari setiap penjelasan yang diberikan, kata Jeremy, ada satu hal yang menarik perhatian, yakni setiap Muslim di mata Allah itu sama, yang membedakan adalah kualitas iman dan takwa.

Selain itu, setiap Muslim mungkin saja masuk neraka apabila melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Pertanyaannya, manusia tidak pernah tahu kapan waktu kematiannya. “Saya langsung terdiam. Menurut pembimbing, karena itulah setiap Muslim harus berbuat baik,” kata Jeremy.

Tak lama kemudian terucaplah kalimat syahadat, “Asyhadu an laa ilaha illa Allah, wa asyhadu ana Muhammad nabiyyan wa rasulullah.” Jeremy resmi menjadi Muslim. Selanjutnya, salah seorang pembimbing meminta Jeremy mengganti nama.

“Nama apa yang anda inginkan. Sekarang anda telah menjadi Muslim. Anda seperti bayi yang baru lahir,” kata Jeremy menirukan ucapan pembimbingnya. Jeremy sempat bingung. Sebab, ia tidak pernah berpikir mengganti namanya.

Sore hari, tepatnya pukul empat sore, ia bersama pembimbing lainnya, Yusuf, belajar cara berwudhu. Ia tunjukkan kepada Jeremy bagaimana berwudhu yang baik. Ia memastikan tidak ada kesalahan urutan dan gerakan. “Ketika anda shalat, anda harus bebas dari lapar atau haus atau keinginan buang air kecil,” pesan Yusuf kepada Jeremy.

Namun, Jeremy spontan saja membersihkan diri. Ia ingin melaksanakan shalat Mahgrib dengan kondisi tubuh bersih. Ia mengingat apa yang dilakukan seperti proses pembaptisan Yohanes.

“Sebenarnya jauh berbeda. Dalam Islam ada urutan yang harus dipenuhi. Pertama yang dilakukan membersihkan bagian pribadi. Lalu lakukan wudhu. Selanjutnya, basuh tubuh dengan air dimulai dari kanan, selanjutnya kepala,” tuturnya.

Selesai mandi dan berwudhu, pembimbingnya kembali memanggil. Ia memberitahu Jeremy untuk melaksanakan shalat yang pertama kali, sebenarnya yang kedua bagi Jeremy. Ia menghadap kiblat, lalu kedua tangan ke atas lalu melipatnya di dada. Lalu membungkukkan badan, sujud dan duduk di antara dua kaki. “Saya merasakan kualitas spiritual yang luar biasa. Alhamdulillah,” ucap Jeremy penuh syukur.


sumber :klik

Posted by Unknown on 00.13. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0

0 komentar for Jeremy Boulter: Allah Itu Maha Perkasa, Tak Butuh Perantara

Leave comment

free counters

dailyvid

Galery Ramadhan

2010 Media Islam. All Rights Reserved. - Oprek by Batak medan